Selasa

LEBIH BAIK BERTARUNG TERUS KALAH

LEBIH BAIK BERTARUNG TERUS KALAH, DARIPADATIDAK PERNAH BERTARUNG SAMA SEKALI




Selasa, 22 Mei 2012 di Cianjur.
Siang itu, ketika seluruh kafilah (delegasi peserta lomba dari tiap kota / kabupaten) usai melaksanakan solat duhur berjama'ah. Jantung berdebar, rasa menjadi galau, barangkali itulah ekspresi yang menggambarkan suasana jiwa seluruh peserta. Termasuk kami, delegasi yang mewakili kota Wali.
Ada yang sama, ya sama nasibnya dengan kami ketika mengikuti hajat kemenag provinsi jawa barat dalam acara expo PAI tingkat SLTA se Provinsi Jawa Barat.
Berkerudung Biru, Berparas Ayu, Berbicarapun penuh malu. Sebut saja Teh Asri, guru pembimbing dari salah satu sekolah SMA yang ada di Karawang, itulah identitas yang ia ta'aarufkan kepadaku.
"Kang punten, bade tumaros, kalau tempat lomba Olimpiade PAI dimana yah?" Lucu! Ketika ia bertanya kepadaku, yang baru saja sampai ke lokasi lomba.
"punten teh, saya juga sama baru nyampe dan baru daftar sebelum Duhur", ternyata ada juga yang sama-sama baru dan lugu saat itu, lanjut dalam hatiku
"Ya Alloooh baru nyampe, ari si Akang timana?" penuh keheranan sambil tersipu malu
"Ti cirebon teh, angkat keur wengi, tabuh tilu enjing" jawabku yang sama-sama bingung mencari ruang olimpiade.
"Subhanalloh yah, ti Cirebon tiasa Sunda" lanjut ia, sambil mencari lokasi.
Jawabku, "Harus atuuh, di era globalisasi kita teh kudu nguasai bahasa."
Selang beberapa saat, tempat kami temui, dan suasana terhenti tanpa ada komunikasi.
Angka 14:27, itulah yang kulihat dari HP Nokia teman setia hidupku. Karena bosan, BT campur kesal, saya beranjak menuju lapangan kemenag tempat lomba Nasyid Islami digelar. Boleh dikatakan itung-itung refreshing plus melayani transaksi SOBAT PULSA yang sempat tertunda.
ASING, tidak ada yang diajak bicara apalagi mengajak bicara. Tampaknya itulah gambaran siang selasa di Cianjur. Lagi, muslimah berkerudung biru itu menghampiri dan menyapaku.
"Bade ngawengi kang Hafiz?" dadakan ia bertanya seraya memeluk tas jinjing ungu kesayangnnya.
Wajar ia bertanya seperti itu, karena memang panitia mendesign acara lomba selama 2 malam 3 hari.
"Aaah, abdi mah teu ngabantun persiapan, janteun bade langsung mulih wae ka cirebon. Iyeu mah, etang2 Nekat ilu lomba teh"
"ya udah atuh kang, Nekat Bertarung terus Kalah Lebih Baik daripada tidak pernah bertarung sama sekali"
Itulah yang ku kenang, inspirasi mahal yang kudapat dari Cianjur.

-:piket rabu, daripada nganggur:-

PELAJARI ! CONTOH SOAL AL-QURAN

Contoh Soal Al-quran 1

KUNCI AL-QURAN XI

kj-quran

KUNCI PAI KLS-X

K-J PAI KELAS X

Kamis

DARI DULU AMPE SEKARANG ORANG LEBIH SUKA NERAKA

Ketua sebuah pengajian meminta maaf kepada penceramah, karena jamaah yang hadir dalam pengajian tersebut tidak banyak. Ia semula mengharapkan agar jamaah yang datang dapat mencapai ribuan orang, tetapi ternyata hanya ratusan orang saja. Ia khawatir apabila penceramah kecewa dengan jumlah yang sedikit itu. Apa komentar penceramah tersebut? Ia justru bersyukur dan tidak merasa kecewa. Katanya, "Memang calon penghuni surga itu jumlahnya sedikit dibanding calon penghuni neraka." Ia pernah membaca koran, bahwa di Ancol diadakan pagelaran maksiat. Yang hadir dalam pesta kemungkaran itu mencapai tujuh ratus ribu orang. Kendati pesta itu dimulai jam delapan malam, namun pengunjung sudah mulai datang jam satu siang. Penceramah kemudian bertanya kepada para hadirin, "Apakah ada pengajian yang dihadiri oleh tujuh ratus ribu orang?" Hadirin pun serentak menjawab, "Tidak ada." Ia kemudian bertanya lagi, "Apakah ada pengajian yang dimulai jam delapan malam, tetapi pengunjung sudah datang jam satu siang" Hadirin kembali serentak menjawab, "Tidak ada." Penceramah kemudian berkata, "Itulah maksiat, dan inilah pengajian. Kalau ada pengajian dihadiri oleh ratusan ribu orang, maka boleh jadi pengajian itu bermasalah." Ia juga mencontohkan, Nabi Nuh AS, Beliau yang berdakwah selama hampir seribu tahun, tetapi pengikut beliau hanya empat puluh orang. "Karenanya, kalau yang datang di pengajian ini mencapai ratusan orang, itu sungguh sudah bagus. Dan begitulah calon-calon penghuni surga," tambahnya. Lebih jauh, ustadz yang masih muda itu menyampaikan sebuah Hadis tentang apa yang akan terjadi pada hari kiamat. Dalam Hadis Shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Nabi saw menyatakan bahwa nanti pada hari kiamat, Nabi Adam AS akan dipanggil oleh Allah SWT. Beliau diperintahkan oleh Allah untuk memisahkan anak-cucunya, mana yang akan masuk surga dan mana yang akan masuk neraka. "Ternyata," kata Nabi saw selanjutnya, "Dari seribu anak-cucu Adam, 999 (sembila ratus sembilan puluh sembilan) masuk neraka, dan 1 (satu) masuk surga". Ia kemudian mengajak jamaah untuk mengamati perilaku manusia setiap hari. "Coba kita amati kehidupan manusia sehari-hari. Kita lihat mereka di pasar, di mall, di televisi, dimana saja. Ternyata lebih banyak yang senang bermaksiat daripada yang taat kepada Allah. Orang bohong, penipu, ada dimana-mana, sementara yang shalat di masjid sepi-sepi saja. Ternyata manusia itu lebih menyukai neraka daripada surga."

Rabu

REKAP NILAI KELS XI

Rekap Nilai Al-qurn Al-Azhar

AKU MEMBUNUHNYA DENGAN CINTA

AKU MEMBUNUHNYA DENGAN CINTA
Muhasabah Pencari Cinta
Hafidz Mukmin


        Lembar-lembar ini, seandainya harus kutuliskan perasaanku sekarang, barangkali akan menjelma gugusan sketsa tanpa bentuk, sketsa hatiku yang tengah remuk tak terpermanai. Betapa tidak, masa lalu bagiku adalah getir yang menyejarah, dan kini menyeruak hadir di hadapanku dalam wujudnya yang sangat menyiksa. Seperti sebuah slide film yang berputar, maka setiap putarannya adalah duri-duri yang merejam ulu hati. Ibarat kutusukkan belati di ujung kegelisahan. Crash…!! lalu darah membanjir meruah rinai. Ada perih yang terus membadai, dan aku telah letih berkelibat di dalamnya.
        Rima Mawaddah. Kukenang kebersamaan itu dalam hening. Dulu…dulu sekali, saat langit tak setitikpun menyisakan mendung, dan hari-hari adalah keriangan tak bersempada. Alangkah nyamannya hari, sesuatu yang kini terasa begitu mahal. Kau kakak kelasku, 1 tahun lebih tua. Kau tetanggaku, hanya beberapa “meter” jarak dari asramaku. Kau adalah bagian dari masa perjuanganku, saat bersama-sama kita terbang ke Negeri Piramida, lalu kita berkhayal untuk bisa mengulangi sejarah Zulikho dan Yusuf. Maka di mana aku tertawa, pasti ada kau tengah mengurai tawa yang sama. Kemana aku pergi, kesanalah kau mengayun langkah. Bersama kita mengeja kebersamaan dalam kehidupan yang lugu. Sampai suatu saat menjelang awal usia dewasa, aku mulai sadar untuk secepatnya belajar menjaga jarak. Kau bukan mahramku, itulah masalahnya. Tapi tidak demikian dengan kau, Rima. Kau justru mulai belajar membayangkan masa depan, mereka-reka hari tua, sesuatu yang masih sangat kabur bagiku kala itu.
     Akh Hafid”, sapamu di suatu penghujung sore.
     “Ya, Rima”
     “Kalau seandainya waktu mengijinkan…” dia ragu untuk meneruskan,
     “mau tidak Akh Hafid berjanji untuk Rima?
     Aah, sinetron apa pula ini?
     “Katakanlah!” spontan saja ku ucapkan itu, masih dengan sedikit terhenyak. 
     “Mau tidak, Antum terus bersama Rima?”
     Alah, Anti ada-ada saja”, ahh..! untunglah kata itu yang meluncur dari bibirku. Kalau saja kukatakan ‘maksudmu?', pasti kau akan berterus terang saat itu juga. Lalu kubiarkan angin senja menelan percakapan hambar itu, membiarkanmu dalam kegamangan yang merikuhkan.
        Kubiarkan saja waktu berjalan. Bukankah waktu adalah saksi yang paling enggan berdusta? Aku faham, Rima. Aku sangat bisa mengerti. Tentang keluargamu yang di Indonesia carut marut. Paman Hasan yang menghilang entah kemana, atau tante Ira yang begitu sibuk dengan kolega bisnisnya. Dan sebagai anak tunggal, kau adalah bulu angsa di antara beliung angin topan. Kau adalah rumput kering di padang kerontang. Jiwa yang tak tentu arah, dan belaian kasih yang tak kunjug menghampiri. Masih untung dengan kocek tebalmu, kau tak akrab dengan serbuk-serbuk neraka atau pil-pil setan. Tapi kalau kemudian kau jadikan aku sebagai pelarian dan harapan, lantas apa yang harus kuputuskan? Kau pernah bercerita tentang seribu bangau kertas, tentang Kamajaya dan Dewi Ratih, tentang Cinderella dan Pangeran Henry, juga tentang Fahri dan Aisha, Dan sebagai lelaki yang mulai dewasa, aku jelas terlalu cerdas untuk mengerti arah pembicaraanmu. Hanya saja, sebagai lelaki aku terlalu rapuh untuk mengatakan yang seharusnya kukatakan. Bahwa cerita-cerita itu harus kau akhiri segera. Bahwa hidup ini tak harus selalu berakhir seperti kisah dongeng. Hidup tak memiliki kekuatan untuk menembus sekat-sekat takdir, seperti yang biasa dilakukan oleh legenda.
    “Hafid, sudah dapat tuh, calon buat Antum”, bisik ust. Saeful lembut. Di sampingnya Om Romli, teman ayahku yang baru saja selesai umroh dan mampir ke Cairo, mereka berdua tersenyum menunggu jawaban. Oo…, ini rupanya, kok dari tadi serba basa-basi mengajakku berkumpul di masjid Al-Salam Cairo plus pembukaan yang ngalor ngidul. Malam itu, Aku di penghujung usia ke dua puluh tiga, dan ini adalah bagian dari pesn keluargaku telah menyiapkan yang terbaik buatku. Aku lahir diantara ketulusan kasih mereka, tumbuh dan besar dalam guratan-guratan sayang mereka, tak terfikir untuk menolak apa yang mereka berikan untukku.
    Istikharahlah dulu, jangan tergesa-gesa!”, kata Om Romli.
    Kabar menyebar. Dinding-dinding seperti membisikkan berita, kepada setiap angin yang bersirobok dengan daun-daun. Lalu suara gemerisik itu berubah menjadi dentam yang memekakkan ketika menabrak gendang telinga seorang gadis. Dan gadis itu adalah kau, Rima. Lalu kau menangis, mengurung diri, menghidangkan tampang serabutan. Sebuah penolakan khas seorang perempuan. Ya, sangat perempuan. Dan aku tak lagi memiliki cukup daya untuk melunakkan hati seorang perempuan. Sejak awal, tak satupun yang kukhawatirkan mengenai rencana ini kecuali kau, Rima. Kau terlanjur menggantungkan masa depanmu dalam diriku. Kau terlanjur tak bisa membayangkan masa depan, kecuali ada aku di sampingmu. Kau terlanjur mencintaiku, begitulah. Dan ketika aku memutuskan menerima Anis putri kedua Om Romli sebagai calon istriku, kau mengeluarkan ancaman berdarah,
    “Kalau Mas Hafid jadi menikah dengan gadis itu…”, aku terdiam sejenak, "lebih baik Rima bunuh diri!". Terlalu sulit bagiku untuk membedakan ucapan yang sungguh-sungguh dan yang sekedar ancaman. Apalagi itu keluar dari mulut seorang perempuan. Tetapi aku terlanjur tak mengerti tentang perempuan. Terlanjur tak mengerti, bahwa hati seorang perempuan bisa lebih tak masuk akal daripada novel kriminal.
    “Tolonglah Rima, mengertilah…!” itu saja yang bisa kuucapkan, memintamu untuk mengerti. Tapi mungkinkah kau mau mengerti, sementara aku sendiripun tak cukup bisa mengerti? Lalu kau mengeluarkan jawaban impas,
    “Mas Hafid minta Rima mengerti, sementara Mas Hafid tak mau mengerti terhadap Rima, begitu? Sungguh tak ada bedanya Mas Hafid dengan papa. Apakah semua laki-laki diciptakan untuk menjadi makhluk egois?”.
    Benar-benar impas, dan aku hanya diam terlolong-lolong. Tapi tahukah kau Rima, bahwa kuterima Anis, justru karena aku tak mau dikatakan egois? Untung aku punya keluarga tempat di mana aku harus membagi cerita. Kuceritakan semuanya tentang Rima, yang ternyata mendapat tanggapan datar-datar saja dari mereka. Kesalahanku adalah tak cukup punya keberanian untuk mengabarkan tentang ancaman terakhir Rima kepada keluargaku. Yaa Rabb, mengapa Kau ciptakan aku menjadi lelaki yang tak bernyali?
    “Ana juga tahu itu, Hafiz”, kata Mbak Hesti,Kakak pembimbing Rima yang baru saja wisuda.
    “tapi memang begitulah tabiat perempuan, justru dengan ini kita berharap Rima mulai belajar tentang hidup”.
    Aku tahu bahwa keluargaku tidak cukup punya kebesaran hati seandainya aku harus menikah dengan Rima. Karena disamping tidak dikenl oleh keluargaku, Rima kurang intens dengan nilai-nilai keislaman. Lebih-lebih Mbak Hesti yang mengenalkanku dengan aktifitas keislaman, sudah pasti ia menginginkan calon pendamping yang sepadan untukku. Tapi mengenai ancaman berdarah itu, bagaimana seandainya mereka tahu? Apakah mereka akan memaksakan diri menerima Rima, hanya karena ancaman yang bisa jadi dianggap konyol itu?.
    Dingin kota Cairo, pagi hari di ruang tamu, impian berbunga di hatiku untuk memulai hidup baru melalui prosesi akad nikah hancur berkeping-keping manakala Ilham, teman satu kamarku, berlari menghambur ke tengah ruangan.
    “Rima…Si Rima tertabrak kereta api…!!”
    Ilham menjerit histeris. Suasana kacau. Acara terhenti. Baru saja ku belajar mengucapkan kata-kata sakral itu dari mulutku yang meresmikan Anis menjadi istriku. Tapi kebahagiaan yang semula telah kureka-reka tiba-tiba saja kini harus terkoyak. Semua bergegas ke tempat kejadian, tempat di mana para polisi sudah berjaga-jaga. Dan orang-orang datang mengerubung. Jasad itu telah bersimbah darah. Jasad kakak kelasku, Rima. Wajah pucatnya meneriakkan penolakan yang sangat. Kerudungnya tergerai masai. Telah kutabahakan diri melewati berbagai aral, tapi sekarang apalagi yang kau hadapkan padaku Rima?
                                                 ***
        Telah kukubur ribuan senja dalam tanah pilu. Segalanya lalu kupendam dalam keseharian. Kini, sudah empat tahun ternyata terlalu singkat untuk mengenyahkan rasa bersalah. Sulit bagiku untuk memahami seorang Rima, sungguhpun ia sudah terbaring di alam sana. Begitu ajaibkah hati ketika sudah memutuskan untuk mencintai?. Sering kutemui diriku dalam wujud seorang lelaki yang pemurung. Semua orang menyangka bahwa Rima mengalami kecelakaan biasa. Tak satupun yang tahu, bahwa bagi Rima bunuh diri adalah lebih baik daripada menyaksikanku mengucapkan akad nikah dengan wanita lain. Tak seorangpun tahu, bahwa aku telah membunuhnya dengan cinta! Cinta memoles keindahan dan juga kepahitan, dengan nama cinta langit bisa menjadi mendung dan cerah, dengan nama cinta kehidupan dan kematian terus digulirkan.

Sabtu

INILAH RESEP HIDUP BAHAGIA

Siang itu terasa terik sekali. Beberapa mahasiswa nongkrong di bawah sebuah pohon kayu yang rindang dekat parkiran. Tiba-tiba mata mereka tertuju pada sebuah mobil mewah yang melaju cepat menuju parkiran.

Dengan tergesa-gesa seorang ibu muda keluar dari mobil itu dan langsung berteriak, “Tolong ... saya ingin bunuh diri, tapi tidak berani!” Kalau tidak menjaga perasaan ibu muda tersebut, para mahasiswa sudah pasti tertawa mendengar teriakan lucu itu.

Dengan cepat beberapa mahasiswa itu berunding. Seorang di antara mereka meng usulkan, “Ayo kita bawa saja menemui Pak Ahmad!” Yang mereka sebut Pak Ahmad itu adalah wakil rektor bidang ke mahasiswaan. Para mahasiswa sudah akrab dengan Pak Ahmad. Beliau seorang doktor psikologi dan juga dikenal sebagai ustaz. Mereka pun segera membawa ibu yang stres itu menemui Pak Ahmad.

Alhamdulillah, Pak Ahmad berada di tempat. Terjadilah dialog antara Pak Ahmad dan ibu muda tersebut. “Mengapa ingin bunuh diri, Bu,” tanya Pak Ahmad. “Sudah seminggu suami tidak mau bertegur sapa dengan saya, Ustaz,” ujar nya. “Sudah berapa lama Ibu menikah?” selidik Pak Ahmad. “Tujuh tahun,” jawabnya.

“Selama tujuh tahun menikah itu, apakah suami Ibu sering tidak menegur Ibu?” tanya Pak Ahmad. Ibu itu menjawab, “Tidak Pak. Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Baru sekali ini suami tidak mau ber tegur sapa dengan saya.”

Atas hal itu, Pak Ahmad menyampaikan bahwa ibu itu patut bersyukur karena hubungan antara dia dan suaminya baik-baik saja dan baru seminggu ini mendapat cobaan. Pak Ahmad pun mengajak ibu itu untuk membandingkan nasibnya dengan ibu-ibu lainnya yang kurang beruntung. Seperti adanya ibu-ibu yang lahir batin menderita, tidak diberi nafkah yang cukup, dan diperlakukan secara kasar oleh suaminya. Ibu itu pun akhirnya tersadar dan mampu menenangkan diri. Ia juga rajin berkonsultasi untuk meminta nasihat kepada Pak Ahmad.

Pada suatu kesempatan konsultasi, ibu muda itu menanyakan mengapa materi yang berlimpah tidak membuat seseorang bahagia. Pak Ahmad bertanya, “Apakah Ibu sudah berusaha mencari kebahagiaan itu?” Sebelum ibu itu menjawab, Pak Ahmad bertanya lagi, “Di mana Ibu cari kebahagiaan itu?”

Lebih lanjut Pak Ahmad menjelaskan, “Ibu tidak akan bisa mendapatkan kebahagiaan dengan mencari kebahagiaan. Ibu akan mendapatkan kebahagiaan apabila Ibu membagi kebahagiaan kepada orang lain.” Mendapat jawaban itu, ibu tersebut bertanya lagi, “Bagaimana kita bisa membagi kebahagiaan kepada orang lain kalau kita sendiri tidak pernah merasa bahagia.”

Pak Ahmad menjelaskan maksudnya. “Pergilah Ibu berkunjung ke rumah-rumah orang miskin yang lapar. Bawa makanan yang enak-enak, bagikan kepada mereka secara langsung. Ibu saksikan betapa bahagianya mereka menikmati makanan yang ibu bawa. Saat itulah Ibu telah membagi kebahagiaan kepada orang-orang miskin itu. Kebahagiaan me reka akan berpindah kepa da Ibu.” Karena itu, bahagiakanlah orang lain, niscaya kebahagiaan juga akan menyertai kita semua. Insya Allah.



coutsey: republika