AKU MEMBUNUHNYA DENGAN CINTA
Muhasabah Pencari Cinta
Hafidz Mukmin
Lembar-lembar ini, seandainya harus kutuliskan perasaanku sekarang,
barangkali akan menjelma gugusan sketsa tanpa bentuk, sketsa hatiku yang tengah
remuk tak terpermanai. Betapa tidak, masa lalu bagiku adalah getir yang
menyejarah, dan kini menyeruak hadir di hadapanku dalam wujudnya yang sangat
menyiksa. Seperti sebuah slide film yang berputar, maka setiap putarannya
adalah duri-duri yang merejam ulu hati. Ibarat kutusukkan belati di ujung
kegelisahan. Crash…!! lalu darah membanjir meruah rinai. Ada perih yang
terus membadai, dan aku telah letih berkelibat di dalamnya.
Rima Mawaddah. Kukenang kebersamaan itu dalam hening. Dulu…dulu sekali,
saat langit tak setitikpun menyisakan mendung, dan hari-hari adalah keriangan
tak bersempada. Alangkah nyamannya hari, sesuatu yang kini terasa begitu mahal.
Kau kakak kelasku, 1 tahun lebih tua. Kau tetanggaku, hanya beberapa “meter”
jarak dari asramaku. Kau adalah bagian dari masa perjuanganku, saat
bersama-sama kita terbang ke Negeri Piramida, lalu kita berkhayal untuk bisa
mengulangi sejarah Zulikho dan Yusuf. Maka di mana aku tertawa, pasti ada kau
tengah mengurai tawa yang sama. Kemana aku pergi, kesanalah kau mengayun
langkah. Bersama kita mengeja kebersamaan dalam kehidupan yang lugu. Sampai
suatu saat menjelang awal usia dewasa, aku mulai sadar untuk secepatnya belajar
menjaga jarak. Kau bukan mahramku, itulah masalahnya. Tapi tidak demikian
dengan kau, Rima. Kau justru mulai belajar membayangkan masa depan, mereka-reka
hari tua, sesuatu yang masih sangat kabur bagiku kala itu.
“Akh
Hafid”, sapamu di suatu penghujung sore.
“Ya, Rima”
“Kalau seandainya waktu mengijinkan…” dia ragu untuk meneruskan,
“mau tidak Akh Hafid berjanji untuk Rima?
Aah,
sinetron apa pula ini?
“Katakanlah!” spontan saja ku ucapkan itu, masih dengan sedikit
terhenyak.
“Mau tidak, Antum terus bersama Rima?”
“Alah,
Anti ada-ada saja”, ahh..! untunglah kata itu yang meluncur dari
bibirku. Kalau saja kukatakan ‘maksudmu?', pasti kau akan berterus terang saat
itu juga. Lalu kubiarkan angin senja menelan percakapan hambar itu,
membiarkanmu dalam kegamangan yang merikuhkan.
Kubiarkan saja waktu berjalan. Bukankah waktu adalah saksi yang paling
enggan berdusta? Aku faham, Rima. Aku sangat bisa mengerti. Tentang keluargamu
yang di Indonesia carut marut. Paman Hasan yang menghilang entah kemana, atau
tante Ira yang begitu sibuk dengan kolega bisnisnya. Dan sebagai anak tunggal,
kau adalah bulu angsa di antara beliung angin topan. Kau adalah rumput kering
di padang kerontang. Jiwa yang tak tentu arah, dan belaian kasih yang tak
kunjug menghampiri. Masih untung dengan kocek tebalmu, kau tak akrab dengan
serbuk-serbuk neraka atau pil-pil setan. Tapi kalau kemudian kau jadikan aku
sebagai pelarian dan harapan, lantas apa yang harus kuputuskan? Kau pernah
bercerita tentang seribu bangau kertas, tentang Kamajaya dan Dewi Ratih,
tentang Cinderella dan Pangeran Henry, juga tentang Fahri dan Aisha, Dan
sebagai lelaki yang mulai dewasa, aku jelas terlalu cerdas untuk mengerti arah
pembicaraanmu. Hanya saja, sebagai lelaki aku terlalu rapuh untuk mengatakan
yang seharusnya kukatakan. Bahwa cerita-cerita itu harus kau akhiri segera.
Bahwa hidup ini tak harus selalu berakhir seperti kisah dongeng. Hidup tak
memiliki kekuatan untuk menembus sekat-sekat takdir, seperti yang biasa
dilakukan oleh legenda.
“Hafid, sudah dapat tuh, calon buat Antum”, bisik ust. Saeful lembut. Di
sampingnya Om Romli, teman ayahku yang baru saja selesai umroh dan mampir ke
Cairo, mereka berdua tersenyum menunggu jawaban. Oo…, ini rupanya, kok dari
tadi serba basa-basi mengajakku berkumpul di masjid Al-Salam Cairo plus
pembukaan yang ngalor ngidul. Malam itu, Aku di penghujung usia ke dua puluh
tiga, dan ini adalah bagian dari pesn keluargaku telah menyiapkan yang terbaik
buatku. Aku lahir diantara ketulusan kasih mereka, tumbuh dan besar dalam
guratan-guratan sayang mereka, tak terfikir untuk menolak apa yang mereka
berikan untukku.
“Istikharahlah
dulu, jangan tergesa-gesa!”, kata Om Romli.
Kabar menyebar. Dinding-dinding seperti membisikkan berita, kepada
setiap angin yang bersirobok dengan daun-daun. Lalu suara gemerisik itu berubah
menjadi dentam yang memekakkan ketika menabrak gendang telinga seorang gadis.
Dan gadis itu adalah kau, Rima. Lalu kau menangis, mengurung diri,
menghidangkan tampang serabutan. Sebuah penolakan khas seorang perempuan. Ya,
sangat perempuan. Dan aku tak lagi memiliki cukup daya untuk melunakkan hati
seorang perempuan. Sejak awal, tak satupun yang kukhawatirkan mengenai rencana
ini kecuali kau, Rima. Kau terlanjur menggantungkan masa depanmu dalam diriku.
Kau terlanjur tak bisa membayangkan masa depan, kecuali ada aku di sampingmu.
Kau terlanjur mencintaiku, begitulah. Dan ketika aku memutuskan menerima Anis putri
kedua Om Romli sebagai calon istriku, kau mengeluarkan ancaman berdarah,
“Kalau Mas Hafid jadi menikah dengan gadis itu…”, aku terdiam sejenak, "lebih
baik Rima bunuh diri!". Terlalu sulit bagiku untuk membedakan ucapan yang
sungguh-sungguh dan yang sekedar ancaman. Apalagi itu keluar dari mulut seorang
perempuan. Tetapi aku terlanjur tak mengerti tentang perempuan. Terlanjur tak
mengerti, bahwa hati seorang perempuan bisa lebih tak masuk akal daripada novel
kriminal.
“Tolonglah Rima, mengertilah…!” itu saja yang bisa kuucapkan, memintamu
untuk mengerti. Tapi mungkinkah kau mau mengerti, sementara aku sendiripun tak
cukup bisa mengerti? Lalu kau mengeluarkan jawaban impas,
“Mas
Hafid minta Rima mengerti, sementara Mas Hafid tak mau mengerti terhadap Rima,
begitu? Sungguh tak ada bedanya Mas Hafid dengan papa. Apakah semua laki-laki
diciptakan untuk menjadi makhluk egois?”.
Benar-benar impas, dan aku hanya diam terlolong-lolong. Tapi tahukah kau
Rima, bahwa kuterima Anis, justru karena aku tak mau dikatakan egois? Untung
aku punya keluarga tempat di mana aku harus membagi cerita. Kuceritakan
semuanya tentang Rima, yang ternyata mendapat tanggapan datar-datar saja dari
mereka. Kesalahanku adalah tak cukup punya keberanian untuk mengabarkan tentang
ancaman terakhir Rima kepada keluargaku. Yaa Rabb, mengapa Kau ciptakan aku
menjadi lelaki yang tak bernyali?
“Ana
juga tahu itu, Hafiz”, kata Mbak Hesti,Kakak pembimbing Rima yang baru saja
wisuda.
“tapi
memang begitulah tabiat perempuan, justru dengan ini kita berharap Rima mulai
belajar tentang hidup”.
Aku
tahu bahwa keluargaku tidak cukup punya kebesaran hati seandainya aku harus
menikah dengan Rima. Karena disamping tidak dikenl oleh keluargaku, Rima kurang
intens dengan nilai-nilai keislaman. Lebih-lebih Mbak Hesti yang mengenalkanku
dengan aktifitas keislaman, sudah pasti ia menginginkan calon pendamping yang
sepadan untukku. Tapi mengenai ancaman berdarah itu, bagaimana seandainya
mereka tahu? Apakah mereka akan memaksakan diri menerima Rima, hanya karena
ancaman yang bisa jadi dianggap konyol itu?.
Dingin kota Cairo, pagi hari di ruang tamu, impian berbunga di hatiku
untuk memulai hidup baru melalui prosesi akad nikah hancur berkeping-keping
manakala Ilham, teman satu kamarku, berlari menghambur ke tengah ruangan.
“Rima…Si Rima tertabrak kereta api…!!”
Ilham menjerit histeris. Suasana kacau. Acara terhenti. Baru saja ku
belajar mengucapkan kata-kata sakral itu dari mulutku yang meresmikan Anis
menjadi istriku. Tapi kebahagiaan yang semula telah kureka-reka tiba-tiba saja
kini harus terkoyak. Semua bergegas ke tempat kejadian, tempat di mana para
polisi sudah berjaga-jaga. Dan orang-orang datang mengerubung. Jasad itu telah
bersimbah darah. Jasad kakak kelasku, Rima. Wajah pucatnya meneriakkan
penolakan yang sangat. Kerudungnya tergerai masai. Telah kutabahakan diri
melewati berbagai aral, tapi sekarang apalagi yang kau hadapkan padaku Rima?
***
Telah kukubur ribuan senja dalam tanah
pilu. Segalanya lalu kupendam dalam keseharian. Kini, sudah empat tahun
ternyata terlalu singkat untuk mengenyahkan rasa bersalah. Sulit bagiku untuk
memahami seorang Rima, sungguhpun ia sudah terbaring di alam sana. Begitu
ajaibkah hati ketika sudah memutuskan untuk mencintai?. Sering kutemui diriku
dalam wujud seorang lelaki yang pemurung. Semua orang menyangka bahwa Rima
mengalami kecelakaan biasa. Tak satupun yang tahu, bahwa bagi Rima bunuh diri
adalah lebih baik daripada menyaksikanku mengucapkan akad nikah dengan wanita
lain. Tak seorangpun tahu, bahwa aku telah membunuhnya dengan cinta! Cinta
memoles keindahan dan juga kepahitan, dengan nama cinta langit bisa menjadi
mendung dan cerah, dengan nama cinta kehidupan dan kematian terus digulirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar